Abstrak
Membaca merupakan ujung tombak perluasan wawasan dan ilmu pengetahuan bagi siswa. Paradigma kegiatan membaca sebagai suatu tuntutan dapat bergeser menjadi kebutuhan hidup, apabila telah tercipta budaya membaca di sekolah. Budaya baca dapat diciptakan dan dibina melalui beberapa kegiatan, yaitu (1) Mengetahui bekal awal yang dibawa siswa dari rumah; (2) Menciptakan lingkungan kelas yang tidak mengancam; (3) Menghargai berbagai respon siswa; (4) Menghadirkan buku pada banyak ruang di sekolah; dan (5) Mendekatkan siswa dengan beragam bahan bacaan. Budaya baca di sekolah akan mengantarkan siswa dekat dengan buku dan menjadikan membaca sebagai senjata paling ampuh mengubah dunia.
Kata kunci: Budaya Baca, Minat Baca, Kebutuhan, Tuntutan
Pendahuluan
Peningkatan minat baca masih menjadi perkerjaan rumah yang belum terselesaikan. Berbagai program telah dilakukan untuk menemukan solusi terbaik. Pembiasaan membaca buku non pelajaran, pengelolaan sudut baca, hingga diterapkannya kunjungan wajib ke perpustakan belum juga memperoleh hasil maksimal. Rendahnya koloborasi dan kegagalan bersinergi dari beberpa pihak semakin memperkeruh permasalahan ini. Minat baca tidak selalu berhubungan dengan kebutuhan, namun besar kemungkinan berkaitan dengan keinginan hati seseorang (Maharani, 2016:106). Pemberian buku yang tidak sesuai dengan usia siswa atau memaksa siswa membaca buku yang tidak digemari, secara langsung dapat berpengaruh terhadap suasana hati siswa.
Data dari Program for International Student Assesment (PISA) pada tahun 2015 menunjukkan keterpurukan kemampuan anak-anak Indonesia di peringkat ke 64 dari 72 negara. Data terbaru dari Most Littered Nation In The World yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada 2016, menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan ke 60 dari 61 negara anggota riset. Kondisi ini kurang menguntungkan apabila ditinjau dari tuntutan dan tanggung jawab untuk menjadikan buku sebagai bagian dari proses kebutuhan belajar di sekolah.
Mencermati permasalahan yang terjadi, sistem pendidikan Indonesia secara proaktif perlu menemukan strategi dan mengubah orientasi program-program peningkatan minat baca atas dasar kebutuhan nyata kehidupan masa depan berdasarkan hasil kajian lapangan yang objektif. Minat baca yang dibangkitkan pada usia dini dapat dijadikan landasan bagi berkembangnya budaya baca di masa depan. Tujuan pembuatan artikel ilmiah ini adalah mengeser pola pemikiran dalam menyikapi rendahnya minat baca yang masih saja terjadi di sekolah. Guru dan seluruh kalangan yang terlibat diharapkan dapat lebih peka dalam memahami tuntutan dan kebutuhan anak agar tercipta iklim gemar membaca sehingga budaya baca di sekolah dapat segera ditunaikan.
Pembahasan
Retorika pendidikan yang menyebutkan “semakin banyak membaca buku, semakin berilmu” merupakan perwujudan dari pentingnya membaca buku sebagai ujung tombak memperluas wawasan dan ilmu pengetahuan. Seyogyanya retorika tersebut direalisasikan dalam program-program yang kongkret dan terencana. Sebelum menelaah terlalu jauh berbagai pendekatan, perlu diketahui terlebih dahulu potret permasalahan yang terjadi saat ini. Beberapa tuntutan perubahan mendasar perlu segera dilakukan, namun perubahan tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa persiapan dan kajian yang matang. Sistem pendidikan Indonesia terlalu sering mengalami perubahan yang menyebabkan terbentuknya lingkungan yang “terburu-buru”.
Secara umum reading comprehension skills merupakan satu dari tiga poin penting kebutuhan pendidikan yang menuntut perhatian serius. Sekolah dianggap memiliki peranan strategis sebagai pemandu terjadinya perubahan. Langkah awal dalam mencermati apa yang menjadi tuntutan adalah dengan menciptakan iklim gemar membaca di sekolah. Iklim gemar membaca tidak akan optimal jika hanya ditularkan melalui kegiatan 15-20 menit membaca buku di luar jam belajar. Hal-hal semacam ini perlu ditinjau ulang melalui studi empiris yang objektif, karena bukan tidak mungkin penciptaan program-program gemar membaca yang dilakukan selama ini kontraproduktif terhadap tujuan yang ingin dicapai. Reformasi penciptaan iklim gemar membaca harus dirancang secara komprehensif dan dilaksanakan secara konsisten dengan arah yang jelas. Perlu untuk selalu dipahami bahwa pembaharuan tidak terjadi secara instan dan simplistic. Pembaharuan harus dilakukan melalui studi yang kompleks dan diimplemantasikan dalam kurun waktu yang lama.
Pada program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) telah terbangun konsensus tentang penciptaan lingkungan literat bagi anak. Tugas kepala sekolah, guru, dan tenaga pendidik adalah bersinergi mencetak generasi literat masa depan. Pribadi siswa juga sangat penting diperhatikan untuk memastikan bahwa siswa dapat menemukan relevansi antara bacaan dan diri mereka sendiri secara pribadi, sehingga dapat tercipta keinginan dan hubungan yang kuat terhadap bahan bacaan.
Menterjemahkan hal-hal yang berkaitan dengan penciptaan iklim gemar membaca dalam menumbuhkan budaya baca di sekolah dasar, perlu dimulai dari hal-hal sederhana sebagai berikut.
Pertama: Mengetahui bekal awal yang dibawa siswa dari rumah. Sering kali terjadi kesenjangan antara siswa yang berangkat dari rumah literat/kaya bacaan, dengan siswa yang berangkat dari rumah yang tidak literat. Semakin tinggi aktivitas kegiatan berliterasi yang terjadi di rumah, maka semakin tinggi minat baca yang dibawah anak ke sekolah (Weigel dkk., 2006). Keberagaman latar belakang literasi rumah inilah yang sering diabaikan oleh guru. Idealnya, guru dapat memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan membaca yang dibawah siswa dari rumah untuk menghindari pemberian bahan bacaan yang tidak sesuai dengan kemampuan awal dan minat mereka. Guru sebaiknya bersikap menerima, mendukung, dan selalu mengapresiasi bahan bacaan yang dipilih sendiri oleh siswa. Siswa secara berkelanjutan akan merasa nyaman dengan lingkungan literat yang diciptakan guru di sekolah. Perasaan nyaman yang terbina dapat menumbuhkan kebiasaan untuk gemar membaca di sekolah.
Kedua: Menciptakan lingkungan kelas yang tidak mengancam. Masih terjadi miskonsepsi terhadap praktik pembelajaran di sekolah, bahwa hanya ada satu kebenaran objektif dan tunggal. Jarang sekali guru memberikan pertanyaan untuk mengetahui tingkat ketertarikan siswa terhadap buku. Guru lebih sering bertanya untuk mengetahui apakah siswa dapat menjawab dengan benar isi dari buku tersebut. Dampak dari kesalahan inilah yang membuat siswa merasa tidak bebas dan takut. Siswa akan menarik diri untuk tidak lagi dekat dengan buku agar terhindar dari jawaban salah. Perspektif yang demikian harus segera diubah agar hubungan siswa dengan buku tidak berjarak semakin jauh.
Ketiga: Menghargai berbagai respon siswa. Setiap kali siswa menunjukkan ketertarikannya terhadap bahan bacaan, mintalah mereka berbagi/menceritakan perasaan mereka (Musthafa, 2014:4). Mendorong siswa untuk mau mendemonstrasikan hasil bacaan melalui beragam media, seperti hasil bacaan dituangkan dalam bentuk gambar yang kemudian dapat diceritakan kembali ke depan kelas. Berikan tepuk tangan dan penghargaan agar siswa merasa hasil kegiatan membacanya dihargai. Keterbukaan dan penghargaan yang diciptakan oleh guru dapat membangkitkan keinginan siswa untuk terus mencari dan menemukan bahan bacaan yang lebih banyak. Tanpa disadari minat siswa terhadap bahan bacaan meningkat.
Keempat: Menghadirkan buku pada banyak ruang di sekolah. Sekolah literat adalah sekolah yang menyediakan beragam buku bagi siswa. Data statistik pendidikan dan kebudayaan 2017, menunjukkan sebanyak 61,45% dari 147.503 sekolah dasar Negeri maupun swasta sudah memiliki perpustakaan mandiri. Namun potret buram kondisi perpustakaan masih menjadi kendala yang belum terselesaikan. Buku-buku koleksi perpustakaan sudah banyak yang usang, belum dibuka dari kardusnya, berdebu, serta bertumpuk secara tidak beraturan. Hal ini sering kali disebut-sebut sebagai kendala gagalnya menumbuhkan minat baca di sekolah. Sekolah yang sadar akan pentingnya menciptakan budaya membaca akan melakukan inovasi untuk terus berupaya menghadirkan beragam bahan bacaan. Pemerintah melalui dana BOS sudah mengalokasikan dana sebesar 5% untuk pengadaan buku-buku baru di sekolah. Selain perpustakaaan, masih sangat perlu menghadirkan buku pada banyak tempat di sekolah, misalnya ruang kelas sebagai pojok baca atau sudut baca di depan ruang-ruang kelas. Sekolah dapat pula membuat agenda pameran buku bacaan keleksi dari masing-masing kelas ssatu minggu sekali secara rutin di lapangan sekolah. Semakin banyak tempat yang disediakan untuk ruang membaca, maka semakin tinggi pula minat baca siswa.
Kelima: Dekatkan siswa dengan beragam bahan bacaan. Masing-masing siswa mempunyai ketertarikan terhadap genre buku yang tidak sama. Bukan tidak mungkin hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan genre buku yang ada pada lingkungan tempat siswa tinggal. Sekolah sedapat mungkin menyediakan bahan bacaan dengan beragam genre, topik, dan tingkat kesulitan. Penyediaan bahan bacaan harus dilakukan atas dasar kemenarikan bagi siswa (Probst, 1998:33). Sekolah memberikan keleluasaan bagi siswa untuk memilih, mengenal, dan mendekati berbagai jenis bahan bacaan yang mereka anggap memiliki daya tarik. Daya tarik dari bahan bacaan inilah yang sangat penting untuk memastikan bahwa anak mau berhubungan dan melibatkan diri untuk membaca.
Kelima hal tersebut dapat dilakukan untuk mengupayakan terjadinya hubungan yang kolaboratif-bersinergi antara sekolah, siswa, dan bahan bacaan. Rasa menghargai keinginan dan kebutuhan siswa sebagai individu yang memiliki kultur dan kecenderungan unik dapat memudahkan kepala sekolah, guru, serta tenaga kependidikan, dalam melihat berbagai permasalahan rendahnya minat baca dari sudut pandang yang tepat. Mendampingi siswa dan memberikan teladan yang baik selama kelima hal yang sudah dijelaskan di atas dapat lebih mengoptimalkan dan mempercepat terbentuknya iklim membaca, sehingga budaya membaca di sekolah akan dengan mudah terbentuk. Slogan yang menyatakan semakin banyak membaca buku semakin berilmu bukan lagi wacana belaka. Dengan demikian, menjadikan membaca sebagai senjata paling ampuh untuk mengubah dunia sudah ada di depan mata.
Kesimpulan
Membaca sudah menjadi tuntutan realitas kehidupan sehari-hari. Penciptaan iklim membaca di sekolah sangat perlu dilakukan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang berbudaya baca. Budaya baca di sekolah dapat dioptimalkan melalui hubungan yang kolaboratif-bersinergi antara sekolah, siswa, dan bahan bacaan. Guru perlu mengetahui bekal awal yang dibawa siswa dari rumah untuk menyesuaikan keinginan siswa dengan kebutuhan mendasar siswa sebagai pembaca. Lingkugan kelas harus dibuat senyaman mungkin melalui apresiasi yang baik dari guru terhadap berbagai respon yang ditunjukkan siswa. Menghadirkan buku pada banyak ruang di sekolah dan menyediakan beragam bahahan bacaan akan membuat siswa dekat dengan buku. Daya tarik dari bahan bacaan akan menumbuhkan keinginan siswa untuk membaca. Mendampingi siswa dan memberikan teladan yang baik selama kelima hal yang sudah dijelaskan diatas dapat mengoptimalkan dan mempercepat terbentuknya iklim membaca, sehingga budaya membaca di sekolah akan dengan mudah terbentuk.
Daftar Rujukan
Weigel, D.J., Martin S.S., Bennett, K.K. (2006). Mother’s literacy beliefs: connections with the home literacy environment and pre-school children’s literacy development. Journal of Early Childhood Literacy, 6(2), 191-211. doi:10.1177/1468798406066444.
Probst, R.E. (1998) Response and analysis: Teaching Literature in Junior and Senior High School. Postsmouth, NH: Heinemann.
Maharani, Ony Dina. (2016). The Children’s Reading Interest and Reading Skill in “Kampoeng Batja” Jember Regency. Surabaya. Proceeding: The 1th International Conference of Primary Education.
Musthafa, Bachrudin. (2014). Litersi Dini dan Literasi Remaja: Teori, Konsep, dan Praktik. Bandung; Center for Research on Education and Socio-cultural Transformation.
OECD. (2015). PISA 2015 Results in Focus What 15-year-olds know and what they can do with what they know. [Online]. Tersedia: https://www.oecd.org/pisa/PISA-2015-Indonesia.pdf. Diakses dari laman web 6 Oktober 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar