Aku berjalan sepanjang pantai. Biru laut dan langit hampir tak terlihat batasnya. Camar yang terbang rendah, tepias ombak di pantai, juga udara yang berkeredap seolah mantra. Di sanalah aku merasa segalanya bernyawa, segalanya bernafas, segalanya bicara dengan bahasa yang tak kupahami betul.
Matahari meninggi. Arloji di tangan menunjukkan pukul 13.55. Sudah lewat waktu makan siang. Aku berhenti pada warung makan mirip pondokan. Berlantai ubin lawas dengan sepasang tiang kayu jati yang masih terlihat kokoh. Ada bale kecil menghadap langsung ke pantai. Ku pilih duduk di sana, pada bangku panjang bercat kuning gading. Tak berapa lama pesananku datang. Nasi goreng ikan cakalang dan es kelapa muda dengan sedikit perasan jeruk nipis. Hampir sempurna, kecuali suara penyanyi perempuan berambut BOB yang diputar berulang-ulang dari tape pemilik warung.
“Kosong?” suara perempan di belakang kursi samping kiriku. Aku mengaguk dan mempersilahkan. Kami duduk sejajar menghadap lanskap pantai. Ku lanjutkan makanku, sedang Ia sibuk membidik pemandangan dengan kamera yang mengantung di leher. Beberapa kali terdengar bunyi klik-klik sebelum kemudian Ibu pemilik warung datang membawa nampan berisi gulai kepala ikan kerapu dan segelas es jeruk. Ia mengucapkan terima kasih sebelum menyantap pesanannya dengan lahap.
“Anda sering ke sini?” tanyanya masih menekuri mangkuk gulai yang hampir kosong. “Coba anda lihat pemecah ombak itu?” ia menunjuk beton-beton pinggir pantai. “Aku sering berhayal bisa berdiri di ujung sana, melompat, lalu terbang seperti Griffin” sambungnya dengan tawa ringan. Aku tak mengerti ke mana arah bicaranya. Ku dengarkan saja. Kupikir ia hanya sedang berbasa basi dengan sesama pengunjung.
Warna langit mulai kemerah-merahan. Ombak beringsut surut. Beberapa nelayan satu persatu kembali ke tepian. Bocah-bocah kecil pencari kijing sudah undur diri. Kami masih betah duduk dan mengobrol. Ritme kami sama, barangkali itulah yang membuat kami jadi cepat akrab. Kami terus bicara sampai senja benar-benar lenyap sepenuhnya.
Langit berubah bak juba hitam raksasa. Tak ada bulan, hanya titik-titik bintang yang seperti sengaja membedaki malam yang muram. Lampu warung sudah berpendar. Makan siang kami berganti minuman hangat. Segelas susu untukku dan secangkir kopi robusta untuknya. Angin berhembus sedikit lebih kencang. Ku rogoh jaket dalam tas dan melilit leher dengan syal merah jambu motif bunga. Perempuan itu masih bertahan. Ia terlihat nyaman mengenakan setelan baju putih tak berlengan dan celana jins selutut. Remang lampu warung membuat wajahnya nampak sendu. Terlihat jelas bulu matanya lentik ketika angin menyapu poninya ke belakang. Lehernya jenjang. Rambut dicepol tinggi ke atas. Bibirnya dipoles lipstik tipis. Menarik, bak boneka seukuran tubuh manusia yang baru dikeluarkan dari bungkus plastik.
Menyenangkan berbicara dengannya. Rasanya seperti karib yang lama tak bertemu. Ku pikir kami sama-sama menemukan perasaan soliter. Ku pikir itu jugalah yang membuatnya mulai membuka diri padaku. Ia menggeser posisi duduknya lebih ke depan. Meletakkan ke dua siku diatas meja, menyangga dagu. Pandangannya lurus menuju laut. Seperti hendak mencari sesuatu dibalik lipatan ombak.
“Aku menunggu seseorang” ucapnya memecah keheningan yang sebentar itu. Satu tarikan nafas kemudian berkata lagi, “Barangkali memang tidak perlu ditunggu. Ia tidak datang, mungkin tidak akan pernah datang.” Kalimat itu seperti ditujukan pada dirinya sendiri.
“Anda pernah jatuh cinta?” mendadak ia menatapku. Tersenyum. Aku mengangguk kecil.
“Lima tahun yang lalu aku jatuh cinta. Benar-benar jatuh cinta, sekalipun mencintainya begitu merepotkan.” Ia menghela nafas. “Aku suka berlama-lama memeperhatikannya menyeruput kopi, sembari mengamati konstruksi wajahnya yang hening. Alisnya yang tebal nyaris bertautan. Kumis tipis tumbuh diatas bibir yang bila tersenyum terlihat hampir sama tipisnya. Rambut keriting menyentuh kerah, sesekali diikat ekor kuda. Cuping telingannya menyudut keluar seolah menegaskan ialah si jenius. Ahh... aku masih menyimpan detail tentangnya dalam kepalaku” sejenak diam “Bahkan hal-hal paling remeh-temeh sekalipun” sambungnya.
“Anda tau, aku belajar banyak buku tebal, membaca bermacam teori, menonton berita teranyar di tivi setiap hari. Ku lakuakan agar sedikit menyerupainya, sekalipun dihadapannya aku tak perlu terlihat pintar. Ia bercerita mengenai banyak hal dengan serba ringkas. Kalimatnya terdengar berbelit jika terlalu panjang. Ia pencerita yang buruk.” Ia menyeringai, seperti sedang menyapa kenang-kenangan. “Aku suka bersandar di pundaknya. Suka saat ia mengusap rambutku, memelukku, mencium keningku, mengandeng tanganku di tengah kerumunan orang di pasar malam, bahkan saat kami hanya saling duduk diam di tepian pantai untuk berhenti mengukur waktu.” Ia tersenyum, lagi-lagi pada dirinya sendiri. Tak kuganggu. Jelas ia sedang memunggut kembali fragmen-fragmen lawas dalam ingatannya.
“Tapi ya begitu. Keadaan sering kali tak berkompromi. Waktu menggilas siapa saja yang tak bergegas. Ia melesat jauh di depan. Berpijar dan menyedot perhatian banyak orang melalui tulisan. Ya, banyak orang, banyak wanita. Ia mulai berpindah dari satu wanita ke wanita lain seperti mengganti baju. Banyak dan sering. Tapi aku tak pernah pergi, ia juga tak pernah meninggalkanku.” Diam agak lama. Ia terlihat gugup. Disruputnya kembali kopi sampai tandas.
“Mau tambah?” usulku ragu-ragu.
Ia mengangguk sopan. Aku berjalan ke meja kasir untuk memberinya kesempatan menguasai diri kembali. Ku pesan dan kubawa sendiri pesananku ke meja. Sebotol minuman beralkohol dengan dua gelas kecil.
“Aku tidak apa-apa” ucapnya tidak cukup terdengar baik. Pandangannya bertanya ketika aku sudah mengambil posisi duduk kembali dengan botol minuman.
“Sesekali kurasa suamiku tidak akan marah” kataku hati-hati, menebak apa yang dipikirkannya. Ku isi sampai penuh masing-masing gelas dihadapan kami. Ia mengangguk dan meneguk sepertiga isi gelasnya. Aku kembali jadi pendengar.
“Jangankan marah, sekedar menunjukkan perasaan cemburu pun aku tak bisa. Relasi kami tak pernah punya nama. Ia menyembunyikan keberadaanku seolah dosa yang harus dijaga kerahasiaannya. Hubungan kami pasang surut. Jika salah satu ada yang pergi, bisa dipastikan akan kembali tak lebih dari sepekan. Seperti ada pemahaman yang tak terkatakan untuk saling memulai lagi. Datang pergi, datang pergi, tak pernah benar-benar final.” Ia mengenggam gelas seperti sedang berpegangan agar tak jatuh.
“Aku takut ia kesepian, takut ia kebanyak minum bir, juga takut ia lupa bercukur.” Senyumnya tampak tulus. “Anda pernah baca larik Khahlil Gibran: jika cinta mengajakmu, ikuti saja meskipun jalannya sulit dan curam. Ya, aku begitu. Aku terus bertahan. Sampai pada suatu ketika ia mengatakan sudah jatuh cinta, pada seseorang yang bukan aku.” Kalimatnya putus. Pandangannya menerawang, entah ke mana. Aku masih berusaha menahan diri untuk tak bersuara.
Ia meneguk gelas ketiga. “Malam itu bulan juni. Hujan turun lebih lama. Tidak deras benar, hanya gerimis. Ia masih mendengkur dengan kedua legan mendekap tubuhku, hangat dan panjang. Aku amati wajahnya lekat-lekat. Ku telusuri tanpa sisa. Tapi resahku makin gaduh. Aku benamkan wajah di dadanya, memeluknya lebih erat. Tak lama ia terbangun. Dikecupnya puncak kepalaku seperti biasa. Keberanianku timbul tenggelam. Ku katakan pada diriku sendiri untuk tak lagi boleh mundur. Ku kumpulkan keberanian yang serba terbatas. Aku tanyakan perihal kejelasan hubungan kami dan perempuan itu. Hening mengambang, rasanya begitu lama sampai akhirnya terdengar suara senggukan. Ia menangis. Seluruh sistem tubuhku macet. Aku limbung. Aku berusaha mengapai-gapai apa yang sedang terjadi. Ada kata maaf yang diucapnya. Lirih sekali seolah tembok pun tak boleh dengar. Aku paham, kami sama-sama paham. Segalanya selesai malam itu. Hatiku hancur sepenuhnya.” Sedihnya makin kentara. Kepalanya tertunduk, memandangi gelas yang sudah kembali kosong. Ia menghela nafas panjang.
“Aku tak tau kenapa ia menangis, apa atau siapa yang ditangisi. Aku ingin sekali mengusap pipinya yang basah.” Ia ragu-ragu sejenak. “Tapi tak bisa. Dadaku rasanya nyeri. Nyeri yang sama persis ketika dulu aku masih berumur 10 tahun. Saat ayah berjalan keluar dari pintu rumah dengan sebuah kopor coklat besar ditangan kanannya, dan tangan kirinya menggegam tangan perempuan lain yang bukan ibu.” Lagi-lagi kalimatnya terputus. Kali ini terlihat jelas ada duka melekat di parasnya yang ayu. Ia mendongak ke atas, mencegah agar air matanya tak jatuh.
“Bukankah aku yang lebih pantas menangis. Aku yang hatinya lebih terluka.” Suaranya parau. Aku tak tau harus berbuat apa. Pelan, kuusap pundaknya. Menerka-nerka seberapa dalam luka yang diderita.
Selama beberapa saat suasana berubah hening. Hanya terdengar deru ombak dikejauhan. Aku baru menyadari suara penyanyi perempuan berambut BOB dari tape pemilik warung sudah tidak lagi terdengar. Beberapa kali ia menarik nafas, dalam dan panjang. Ia menatap ke arahku. Seulas senyum tipis yang getir. Matanya jernih tapi tampak begitu letih. Aku tersenyum sekuat tenaga, berusaha memahami kepedihannya.
“Waktu berjalan lamban bagi yang patah hati.” Suaranya tenang dan terukur.
“Tapi waktu adalah teman terbaik bagi yang terluka” sergaku. Ia tersenyum. Senyum yang rendah hati. Sangat sedikit orang sepertinya. Mengatur feel dengan begitu cepat. Ia tampak sedikit lebih baik. Aku menuang kembali isi botol ke dalam gelas sampai habis.
“Jadi, masih gagal berpindah?” tanyaku menggoda.
“Siapa bilang.” Jawabnya tak kalah menggoda.
“Berarti sudah berpindah?.”
“Aku tidak bilang begitu.”
“Sialan” potongku pendek. Kami tertawa. Benar-benar bisa tertawa.
Aku merasa iba pada perempuan yang tangguh ini. Ku ulangi, aku merasa iba pada perempuan malang tapi tangguh ini. Harusnya ia tak perlu menunggu sekeras kepala itu. Aku jadi sedikit sentimentil.
Ia memesan sebotol lagi minuman yang sama. Keadaan kembali hangat. Parasnya tampak lebih lega. Kami bercerita mengenai hal-hal lain. Kami saling bertanya dan bercerita. Ia menunjukkan padaku beberapa gambar dalam kameranya. Ku rasa Ia berbakat. Beberapa bidikannya mengagumkan. Terutama potret pemandangan laut.
“Laut sering menceritakan padaku kisah-kisah romantis, tapi paling banyak cerita cinta patah hati” katanya enteng. Obrolan kami makin renyah.
“Ohya, suamimu datang jam berapa?” tanyanya.
“Sebentar lagi” ucapku tidak terlalu yakin.
Ia melihat jam dipergelangan tangan. “yah, aku harus pergi sekarang. Masih ada janji. Padahal ingin sekali bertemu suamimu. Pasti akan sama menyenangkannya” godanya.
Setelah saling berpelukan dan mengucapkan salam perpisahan. Perempuan yang lupa kutanyakan namanya itu pergi meninggalkanku dengan gelas yang belum kosong benar. Aku memperhatikannya berjalan menjauh sampai punggungnya hilang.
Kurang dari lima belas menit kemudian suamiku datang. Ia mengambil posisi duduk berimpitan denganku. “Sibuk sekali?.” Ucapku ketus. Diciumnya keningku dan berkata “Kalau tak sibuk, mana bisa beli rumah, beli beras, apalagi bayar botol-botol minummu yang sebanyak ini,” itu senyum yang sudah ku hafal betul.
Kami pergi meninggalkan warung, berjalan menuju suara ombak. Kami duduk di pasir tepian pantai. Warna laut masih tak terlihat, hanya hitam. Ku sandarkan kepala di bahu suamiku. Teduh mengambang. Kami tak banyak bicara, hanya punggung tangan yang saling menggenggam. Keadaan yang demikian membuatku jatuh cinta hingga berkali-kali padanya. Cinta yang begitu besar tapi sangat getas.
Ku rengkuh tubuhnya. Mendadak dadaku sesak. Rasanya sakit luar biasa. Hatiku seperti berdarah. Air mataku tumbang. “Kenapa?” bisiknya. Aku menggeleng. Merengkuhnya lebih dalam lagi. Pria yang sedang kudekap tubuhnya ini, suamiku ini, ada dan menjadi bagian potret dalam kamera yang tak pernah dihapus perempuan itu sejak lima tahun lalu. Perempuan itu menunggu suamiku.
Many fiqurative language that make a reader to be a little dizy. This shot story tells about personal conflic that is wraped up with beautiful by the writter.
BalasHapusbagus banget cerpennya, tulisannya dn gaya bahasanya berdinamika..cocok utk litetasi
BalasHapus