Aku berjalan sepanjang pantai. Biru laut dan langit hampir tak terlihat batasnya. Camar yang terbang rendah, tepias ombak di pantai, juga udara yang berkeredap seolah mantra. Di sanalah aku merasa segalanya bernyawa, segalanya bernafas, segalanya bicara dengan bahasa yang tak kupahami betul.
Matahari meninggi. Arloji di tangan menunjukkan pukul 13.55. Sudah lewat waktu makan siang. Aku berhenti pada warung makan mirip pondokan. Berlantai ubin lawas dengan sepasang tiang kayu jati yang masih terlihat kokoh. Ada bale kecil menghadap langsung ke pantai. Ku pilih duduk di sana, pada bangku panjang bercat kuning gading. Tak berapa lama pesananku datang. Nasi goreng ikan cakalang dan es kelapa muda dengan sedikit perasan jeruk nipis. Hampir sempurna, kecuali suara penyanyi perempuan berambut BOB yang diputar berulang-ulang dari tape pemilik warung.
“Kosong?” suara perempan di belakang kursi samping kiriku. Aku mengaguk dan mempersilahkan. Kami duduk sejajar menghadap lanskap pantai. Ku lanjutkan makanku, sedang Ia sibuk membidik pemandangan dengan kamera yang mengantung di leher. Beberapa kali terdengar bunyi klik-klik sebelum kemudian Ibu pemilik warung datang membawa nampan berisi gulai kepala ikan kerapu dan segelas es jeruk. Ia mengucapkan terima kasih sebelum menyantap pesanannya dengan lahap.